Al-Quran telah mengisahkan keadaan Mekkah pada zaman pra-kenabian Muhammad SAW dengan degradasi moral. Orang-orang di kota itu digambarkan sebagai kaum penyembah berhala yang penuh kemusyrikan, cinta dunia dan mengalami defisit akal sehat. Sesuai dengan penamaan periode tersebut yaitu Zaman Jahiliyah. Degradasi moral penduduk Mekkah dititikberatkan pada aspek spiritual dan teologi mereka yang ‘politeistis’. Hal inilah yang menjadi salah satu sebab turunnya Al-Qur’an (Asbab an Nuzul) pada malam Nuzul Al-Qur’an.
Suatu momentum istimewa dan sakral bagi umat Islam di bulan Ramadhan adalah Nuzul Al-Qur’an. Memperingati malam Nuzul Al-Qur’an dengan kegiatan-kegiatan spiritual telah menjadi tradisi yang melekat erat di masyarakat. Momen ini diperingati untuk mengenang turunnya Al-Qur’an. Nuzul Al-Qur’an menjadi salah satu momentum yang ditunggu-tunggu umat muslim di dunia, yang diperingati setiap tanggal 17 Ramadhan. Hal ini dijelaskan dalam Q.S Al Anfal ayat 41. Ayat tersebut membahas tentang bertemunya dua pasukan pada Perang Badar yang terjadi pada tanggal 17 Ramadhan. Meskipun demikian, apabila ditelusuri sejarahnya, tarikh yang tepat untuk Nuzul Al-Qur’an adalah pada tanggal 24 Ramadhan berdasarkan Q.S Al-Qodr dan ayat 1-4 Q.S Al-Dukhan.
Sekilas Tentang Nuzul Al-Qur’an
Secara bahasa, Nuzul berarti turun. Secara harfiah Nuzul berarti turunnya Al-Qur’an (kitab suci agama Islam) yang merujuk pada penurunan wahyu Allah SWT kepada nabi dan rasul terakhir, yaitu Nabi Muhammad SAW. Namun para ulama mempunyai pandangan yang berbeda mengenai kata Nuzul tersebut. Imam Al-Raghib Al-Asfahani mengartikan kata Nuzul dengan arti “meluncur dari atas ke bawah yang berarti turun”. Menurut Imam al-Fairuz Al-Zabadi kata Nuzul diartikan sebagai “bertempat di suatu tempat”. Sedangkan, sebagian ulama lain mengartikan Nuzul adalah “turun secara berangsur-angsur, sedikit demi sedikit” (Efendi, 2016: 58-59).
Berangkat dari pendapat para ulama tersebut, penulis menyimpulkan bahwa pengertian Nuzul Al-Qur’an di kalangan ulama juga berbeda pendapat. Ada yang mengartikan secara hakiki maupun majazi. Apabila ditarik benang merahnya, Nuzul Al-Qur’an berarti peristiwa turunnya Al-Qur’an secara berangsur angsur di suatu tempat. Al-Qur’an pertama kali diturunkan atau ditempatkan ke Lauh Al-Mahfuz (batu tulis yang terjaga), diturunkan secara secara langsung dari Lauh al Mahfuz ke Bayt al-Izzah (langit dunia). Kemudian disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril secara berangsur-angsur.
Ramadhan di Tengah Pandemi Covid-19 dan Kebijakan Pemerintah
Pandemi adalah penyakit yang menyebar secara global meliputi area geografis yang luas. Virus Corona yang menyebabkan Covid-19 saat ini dinyatakan oleh WHO sebagai pandemi. Virus ini berasal dari Wuhan kemudian menyebar ke berbagai negara termasuk Indonesia. Di Indonesia Pandemi ini disebut sebagai Pandemi Covid-19.
Pandemi Covid-19 di tengah Ramadhan membawa dampak bagi mayarakat. Salah satunya adalah dampak sosial dan spiritual. Sebelum Pandemi Covid-19 mewabah di Indonesia, Ramadhan menjadi bulan paling mulia yang ditunggu-tunggu umat muslim setiap tahun. Apalagi tradisi-tradisi menarik bulan Ramadhan seperti shalat tarawih berjamaah, tadarusan, ngabuburit, dan buka bersama. Tak lupa tradisi malam Nuzul Al-qur’an yang hanya terjadi pada bulan Ramadhan, menjadikan bulan ini berbeda dengan bulan-bulan lain pada kalender Islam.
Namun, Ramadhan tahun ini berbeda jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Ramadhan yang biasanya disambut dengan kemeriahan terpaksa harus dilakukan dengan keterbatasan. Tahun ini, masyarakat harus menjalankan ibadah puasa Ramadhan ditengah Pandemi Covid-19 dan diminta untuk mengikuti panduan ibadah yang disesuaikan dengan kondisi saat ini. Sekretaris Jendral (Sekjen) PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti saat dihubungi Kompas.com mengatakan,
”Umat islam tetap harus optimis dan menyambut Ramadhan dengan gembira. Terkait pelaksanaan ibadah sunnah (khusunya shalat tarawih) hendaknya dilaksanakan secara individu maupun berjamaah dirumah. Sedekah untuk berbuka puasa sebaiknya dibagikan secara langsung atau dalam bentuk lain yang bermanfaat”.
Ungkapan tersebut merujuk kepada kebijakan pemerintah menghambat laju perkembangan Virus Covid-19.
Saat ini pemerintah gencar mengupayakan Kebijakan Social Distancing dan Physical Distancing guna memutus rantai penyebran Virus Covid-19. Para pemangku kebijakan negara yang terdampak mengambil langkah antisipasi penyebaran virus dengan menerapkan pola hidup baru; Kebijakan Stay at Home (tetap berada dirumah), Work From Home (bekerja dari rumah), ibadah di rumah, mengunakan masker, karantina individu mandiri hingga karantina wilayah. Bahkan dalam pelaksanaan Sidang Isbat oleh Kementrian Agama harus dilakukan secara daring (dalam jaringan) demi mematuhi kebijakan Sosial distancing dan Physical Distancing. Untuk itu pemerintah memberikan panduan dalam menjalankan ibadah puasa Ramadhan agar sesuai dengan kebijakan Social Distancing dan Physical Distancing yang tertuang dalam Surat Edaran No.6 Tahun 2020.
Atmosfer Baru Nuzul Al-Qur’an di tengah Pandemi
Tradisi memperingati Nuzul Al-Qur’an dilakukan berbeda-beda di setiap wilayah. Sebagian besar masyarakat memperingati Nuzul Al-Qur’an dengan menggelar pengajian atau tabliqh akbar dengan mendatangkan penceramah. Selain itu, ada pula yang merayakannya dengan menggelar pentas seni seperti qosidah, anasyid, dan lainya. Bahkan tidak jarang ada yang merayakannya dengan mengadakan pesta makan-makan. Semua bentuk perayaan tersebut tentu melibatkan banyak orang.
Dengan adanya surat edaran pemerintah tentang pedoman menjalankan ibadah puasa, memberikan imbas terhadap tradisi Nuzul Al-Qur’an yang terpaksa tidak dapat diselenggarakan. Tertuang dalam Surat Edaran No. 6 Tahun 2020 tentang pedoman menjalankan ibadah puasa Ramadhan pada point ke 6:
“Peringatan Nuzul Qur’an dalam bentuk tablig dengan menghadirkan penceramah, dan massa dalam jumlah besar, baik di lembaga pemerintah maupun swasta,masjid, maupun mushola ditiadakan”. Dan point 7 yang menyatakan “Tidak melaksanakan iktitaf di 10 malam terakhir bulan Ramadhan di masjid/mushola”.
Kebijakan pemerintah tersebut adalah demi kemaslahatan umat. Oleh karenanya, masyarakat dituntut untuk patuh dan taat terhadap pemerintrah.
Dilihat dari perspektif spiritualitas, mewabahnya Pandemi Covid-19 tidak mengurangi kualitas ibadah dan pahala walaupun dilaksanakan dengan cara yang berbeda, karena dilakukan dalam keadaan darurat. Seperti pernah terjadi pada masa sahabat, ketika hujan lebat dan saat itu adalah waktu dilaksanakan shalat jum’at. Ibn Abbas menyuruh mu’adzin menngganti lafal hayya ‘alashalah dengan “shalatlah kalian di rumah-rumah kalian”. Ada sahabat yang protes. Jawaban ibn Abbas pendek, “Ini dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku (Nabi Muhammad saw), Ibadah Jum’at wajib, tapi aku tidak mau menyulitkanmu menempuh jalan yang licin dan becek” (H.R Bukhari). Illat (sebab) kedaruratan wabah covid lebih besar daripada hujan.
Pandemi Covid-19 memberikan nuansa atmosfer baru dalam pelaksanaan peringatan Nuzul Al-Qur’an. Pelaksanaan ibadah terkait dengan peringatan Nuzul Al-Qur’an tetap dapat dilaksanakan baik secara individu maupun lingkup keluarga. Menurut penulis, perayaan dalam bentuk perkumpulan itu hanya tradisi, sementara keberkahan Nuzul Al Qur’an tidak terletak di dalamnya.
Keberkahan Nuzul Al-Qur’an diperoleh ketika umat melaksanakan ibadah untuk memperingatinya. Baik ibadah shalat, membaca Al-Qur’an, sedekah, atau hal lain yang bermanfaat yang dilakukan dengan ikhlas, khusyu’ serta mengharap ridha-Nya. Terlepas apakah dilaksanakan sendiri atau bersama-sama, merayakan dengan penuh kemeriahan atau tidak. Ibadah dalam rangka memperingti Nuzul Al-Qur’an sifatnya adalah sunnah serta dapat dilakukan secara mandiri. Maka sangat tepat dan bijaksana bagi pemerintah melarang kegiatan tersebut karena melibatkan banyak yang berpotensi menjadi wadah penularan virus.
Jika diulas lebih dalam, sebenarnya Pandemi Covid-19 banyak memberi dampak postitif di samping dampak negatif yang selalu menjadi topik perbincangan. Pandemi Covid-19 tidak mengurangi sedikitpun eksistensi Nuzul Al-Qur’an di masyarakat, justru menjadi momentum sakral dan berbeda dari tahun sebelumnya. Peringatan Nuzul Al-Qur’an dapat dilaksanakan lebih khusyu’ dan intim secara individu dengan membaca Al Qur’an di rumah, shalat malam Nuzul Al-Qur’an di rumah, mendengarkan kajian di rumah yang dapat diakses melalui jejaring sosial, dan lainnya.
Tanpa disadari pandemi ini adalah kesempatan yang Allah SWT berikan kepada umat Islam untuk lebih dekat dengan-Nya. Pandemi Covid-19 bukan suatu penghambat atau penghalang dalam beribadah, namun menjadi tantangan, pendorong, sekaligus kesempatan bagi umat Islam. Menjadi tantangan bagaimana menjaga eksistensi Nuzul Al-Qur’an tetap ada dengan cara yang berbeda, pendorong bagi umat Islam untuk senantiasa bertaqwa dan berserah diri kepada Allah SWT. dan kesempatan untuk lebih dekat dengan Sang pencipta.
Pandemi Covid-19 memberi jawaban mengenai teori habluminallah. Mengesampingkan segala kesibukan duniawi yang membuat umat Islam lupa dengan kodratnya hidup di dunia adalah untuk beribadah. “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku” (Q.S Adz Dzariyat : 56). Pandemi Covid-19 memberikan waktu untuk merenung dan mengingat Allah SWT, membangun dan memperkuat Aqidah Islamiyah.
Keterkaitan Nuzul Al Qur’an di Tengah Pandemi Covid-19 terhadap Aqidah Islamiyah
Sekian banyak ceramah dan tulisan yang menyatakan bahwa penyakit ini adalah siksa Tuhan, lebih-lebih pada awal penyebarannya di wilayah Cina. Pada mulanya banyak yang menerima pandangan tersebut. Terlebih dikaitkan dengan gaya hidup, pola makanan, sosial politik masyarakat Cina pada saat itu. Namun setelah virus ini menyebar ke berbagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, pandangan tersebut mulai sirna meskipun masih ada yang menganutnya.
Menurut penulis, Pandemi Covid-19 bukan siksa ilahi, karena menimpa muslim yang durhaka maupun yang taat. Jika Allah SWT hendak memberikan siksa atas suatu kaum, pasti akan menjauhkan terlebih dahulu hamba-hamba yang taat kepada-Nya agar tidak menerima siksa tersebut. Namun jika bencana tersebut menyentuh kaum yang durhaka dan yang taat maka ia dinamai fitnah atau bala’. Dalam bahasa sehari-hari dinamai ujian atau cobaan. Singkat kata Pandemi Covid-19 adalah ujian bagi kaum muslim. Tak lain adalah untuk menguji kesabaran, keimanan, dan aqidah umat Islam.
Kejadian tak terduga terjadi, mulai dari ditutupnya seluruh instansi pendidikan, ditutupnya mall dan perusahaan, sampai larangan-larangan di bulan Ramadhan termasuk merayakan Nuzul Al-Qur’an. Fenomena lain terkait kasus Covid-19 di dunia membuka pikiran penulis, apabila kebersihan mampu mencegah Covid-19, maka Italia tidak akan 219.000 orang yang tertular. Karena Italia merupakan negara terbersih di dunia. Jika memang panas mampu membunuh Covid-19, mungkin Iran tidak akan 109.000 orang yang tertular karena Iran adalah negara gurun yang panas. Dan apabila orang cuek dan sembrono yang pola hidupnya lebih besar kemungkinan terkena covid, maka para pengamen jalanan, orang gila, dan kuli bangunan sudah banyak yang terpapar virus. Namun yang terjadi tidak demikian.
Kenapa bisa demikian? Mungkin jawabannya adalah karena hidup tidak selalu sejalan dengan teori, teknologi, dan akal pikiran manusia. Sudah banyak tenaga medis yang terpapar virus. Apakah mereka tidak menggunakan APD dengan benar atau tidak hati-hati dalam menjalankan profesinya? Belum tentu juga demikian. Dihadapkan dengan situasi yang demikian, secara simbolis Allah SWT berbicara kepada kesombongan nmanusia. Menjawab semua teka-teki kontroversi beragama yang menyebabkan banyaknya penyimpangan dalam Islam. Memberitahu manusia bahwa manusia tanpa Allah SWT hanyalah daging yang bernafas. Oleh karena itu apabila Allah berkehendak, teknologi dan akal manusia tidak akan mampu melawan-Nya.
Nuzul Al-Qur’an di tengah pandemi covid-19 hadir sebagai alarm bagi umat Islam agar mengingat kembali sejarah diturunkannya Al-Qur’an. Bahwa Al-Qur’an diturunkan sebagai pedoman hidup agar tidak menyimpang dengan aqidah Islam. Nuzul Al-Qur’an hadir di tengah pandemi yang dibarengi dengan terjadinya fenomena-fenomena yang tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran manusia. Situasi ini hendaknya mampu menyadarkan umat manusia bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia adalah atas kehendak Allah SWT. Logika, teknologi, dan akal pikiran manusia tidak akan mampu melawannya. Karena sesungguhnya teknologi adalah hasil akal manusia sedangkan manusia adalah ciptaan Allah SWT semata. Dunia seisinya adalah fana dan Allah adalah nyata.
Adanya pandemi dan berbagai larangan beribadah seperti tahun-tahun sebelumnya bukan alasan kita tidak menjalankan ibadah di bulan ini. Justru sebagai dorongan agar kita selalu meninngkatkan ibadah dan keimanan kepada Allah SWT, meningkatkan ketaqwaan dan aqidah atau keyakinan kita terhadap Allah. Maka tepat rasanya apabila Nuzul Al-Qur’an sebagai penguat Aqidah bagi umat Islam. Memperkuat keyakinan umat manusia bahwa Allah SWT adalah satu, bumi dan seisinya adalah milik Allah SWT. (Penulis: Wahyu Kurnianingsih, Editor: Sam)